— dikutip dari buku ‘Aku’ karangan Sjuman Djaya.

Foto: Rangga "AADC"/Kompasiana

Jam dinding berdentang satu kali. Ibu yang sendiri terbangun dari tidurnya, dan menemukan tempat tidur anaknya masih kosong.

Ibu jadi mengambil selendang hangat dan menutupi punggungnya. Dengan itu dia lantas jalan ke luar rumah, duduk termangu di depan menanti anaknya.

Ibu sudah terlena di luar, ketika pulang lah dia si anak hilang. Chairil membangunkan Ibunya dan membimbingnya masuk.

Chairil memasuki kamar, sesudah menidurkan kembali Ibunya.

Sebuah kamar sempit yang dipenuhi buku di atas meja, di lemari, di atas kasur, di mana-mana!

Dibukanya segera jas dan dasinya, sesudah itu anak ini tenggelam dalam membaca, sampai fajar tiba!


Ketika kemudian suara adzan terdengar dan Ibu selesai mengambil “subuh”, Ibu ini bahkan masih mendengar anaknya membacakan sebuah sajak kepunyaan Marsmann dalam bahasa Jerman yang sangat asing.

Namun menyentuh juga bunyi yang asing itu di telinganya.

Semacam sajak yang penuh derita, yang bercerita tentang maut dan kematian yang sunyi.

Sang anak terkejut melihat ibu berdiri di depan pintu kamarnya. Ibu yang terus maju menggapai kepalanya dan mengkais-kais rambutnya.

Ibu yang lantas juga bicara:

“Ayahmu sudah enam bulan tidak mengirim belanja untuk kita…!”

Betapa tiba-tiba wajah sang anak menjadi berubah. Mata yang memang selalu merah itu betapa menjadi bertambah merah.

Bibir itu juga gemetar seperti mengucapkan sesuatu yang tidak jelas, tapi penuh kegeraman.

Diraihnya tangan ibu yang berada di kepalanya, dikecup, dipeluknya tangan itu, tapi dia lantas berkata dengan ringannya:

“Ibu masih membekal perhiasan-perhiasan. Ibu tidak memerlukan itu semua kini. Jual!”

Maka Ibu nampak jadi menahan sesuatu yang sangat pedih, dan berkata lagi:

“Sudah terjual semuanya, Nak…!

Untuk sewa rumah,

untuk makan,

untuk bayar sekolahmu,

buku-bukumu,

juga dansa-dansa dan kesenangan-kesenanganmu…

selama ini!”

Sang anak jadi termangu sekarang, sambil membantingkan buku di tangannya ke atas meja…