Foto: Bunga Hortensia/Dokumentasi Pribadi

Selain bufet kayu, ada beberapa barang di rumah yang umurnya melebihi saya. Salah satunya adalah bunga hydrangea atau hortensia di depan rumah. Bunga ini memang menjadi bunga kesayangan ibu saya bahkan sebelum kami pindah rumah sekitar tahun 2004. Tidak jarang, ayah saya ribut kecil dengan ibu karena harus ibu tidak mau bunga ini "disentuh" oleh kami.

Contohnya ketika rumah kami harus direnovasi sekitar tahun 2017. Alih-alih ikut berunding dengan kami dan tukang yang akan membongkar rumah kami, ibu malah sibuk memindahkan bunga ini ke tempat yang tidak akan dijamah oleh tukang. 

Sebenarnya, ibu memiliki banyak tanaman di rumah lama. Sampai-sampai kakak saya pernah bilang: "ibu ini seperti orang jualan bunga saja". Termasuk tanaman stroberi yang selalu habis buahnya sebelum berwarna kemerahan karena saya petik waktu masih kecil.

Suatu ketika, kami harus berpindah rumah karena keadaan ekonomi kami yang sedang terpuruk. Ayah dan ibu harus menjual rumah untuk menutup hutang dan sisanya untuk membeli rumah yang lebih kecil. Ibu hanya membawa beberapa bunga dan salah satunya adalah bunga ini. Meski pada akhirnya di rumah baru kami bisa dibilang seperti orang jualan bunga lagi, bunga ini tetap memiliki kesan yang berbeda.

Ada banyak hal yang tidak sempat kami lakukan bersama. Misalnya, pada awal tahun ini kami seharusnya berlibur bersama ke negera sebelah seperti yang kami rencanakan, yaitu setelah Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) berakhir. Sayangnya, PPKM berakhir pada 31 Desember 2022, hampir dua tahun setelah kepergian ibu saya. Namun, hal yang paling saya sesali adalah kami tidak sempat pergi bersama untuk sekadar mencari dan membeli bunga yang ibu inginkan. Semoga di kehidupan selanjutnya, kami sempat. Sebagai anak paling manja dan paling cengeng, saya memiliki kewajiban untuk mewujudkannya.

Beberapa waktu ke depan jika saya memiliki rumah sendiri, bunga ini adalah bunga pertama yang akan saya tanam di rumah saya. Saya tidak akan lupa jadi tidak perlu diingatkan. Namun, kepada siapapun yang suatu hari akan menjadi istri saya, saya berpesan kepadamu untuk menjaga bunga yang mekar selama lebih dari 25 tahun ini dan memastikannya untuk selalu mekar di rumah kita.



_____

Ditulis di Pontianak, 05 Februari 2023.

Foto: Jauzax/Unsplash


padahal kita masih remaja

tapi ketika mereka berpesta
kita hanya duduk di angkringan sederhana
saling bertukar gelak tawa


padahal kita masih remaja
tapi ketika mereka bertamasya
dengan mobil kinyis mewah mereka
kita hanya bisa berjalan beralaskan sepatu tua
mengitari Tugu Jogja


padahal kita masih remaja
tapi ketika mereka saling berlomba
berdebat tentang siapa yang paling kaya
kita hanya bisa bercerita sepanjang malam
sesekali bertukar pikiran tentang masa depan


padahal kita masih remaja
tapi kita kehilangan kesempatan
mengejar mimpi kita
karena tuntutan keluarga


padahal kita masih muda
tapi kita kehilangan
gadis-gadis yang ingin bercinta dengan kita
hanya karena kita tak punya apa-apa


padahal kita masih muda
tapi kita tak pernah bisa
berhenti merenungi nasib remaja kita



_____

Ditulis pada bulan November, 2018

Foto: Svitlana/Unsplash

aku tidak ingat apakah waktu kecil guru kita mengajarkan etika bertamu.

kalau pun iya aku pasti sudah lupa caranya.

atau memang karena aku sudah pintar?
jadi tak perlu mengingatnya

untuk apa datang kemari?

kamu melarangku datang, 
tapi aku sampai di depan.

kamu mengusirku pergi, 
tapi aku malah duduk disini, 
bercanda dengan mamamu sejak pagi.

aku jatuh cinta dengan teh buatanmu.

kamu masih suka menggombal?

aku jatuh cinta dengan teh buatanmu, 
bukan kamu.

tapi tetap saja, kamu mencintaiku.

mungkin, tapi aku kemari untuk teh buatanmu.

_____ 

kamu mau diam di rumahku sampai kapan?

entahlah. hari ini aku cukup
memandangimu saja. besok aku boleh
datang lagi?

untuk apa?

memandangimu lagi.



Foto: Rangga "AADC"/Kompasiana

Jam dinding berdentang satu kali. Ibu yang sendiri terbangun dari tidurnya, dan menemukan tempat tidur anaknya masih kosong.

Ibu jadi mengambil selendang hangat dan menutupi punggungnya. Dengan itu dia lantas jalan ke luar rumah, duduk termangu di depan menanti anaknya.

Ibu sudah terlena di luar, ketika pulang lah dia si anak hilang. Chairil membangunkan Ibunya dan membimbingnya masuk.

Chairil memasuki kamar, sesudah menidurkan kembali Ibunya.

Sebuah kamar sempit yang dipenuhi buku di atas meja, di lemari, di atas kasur, di mana-mana!

Dibukanya segera jas dan dasinya, sesudah itu anak ini tenggelam dalam membaca, sampai fajar tiba!


Ketika kemudian suara adzan terdengar dan Ibu selesai mengambil “subuh”, Ibu ini bahkan masih mendengar anaknya membacakan sebuah sajak kepunyaan Marsmann dalam bahasa Jerman yang sangat asing.

Namun menyentuh juga bunyi yang asing itu di telinganya.

Semacam sajak yang penuh derita, yang bercerita tentang maut dan kematian yang sunyi.

Sang anak terkejut melihat ibu berdiri di depan pintu kamarnya. Ibu yang terus maju menggapai kepalanya dan mengkais-kais rambutnya.

Ibu yang lantas juga bicara:

“Ayahmu sudah enam bulan tidak mengirim belanja untuk kita…!”

Betapa tiba-tiba wajah sang anak menjadi berubah. Mata yang memang selalu merah itu betapa menjadi bertambah merah.

Bibir itu juga gemetar seperti mengucapkan sesuatu yang tidak jelas, tapi penuh kegeraman.

Diraihnya tangan ibu yang berada di kepalanya, dikecup, dipeluknya tangan itu, tapi dia lantas berkata dengan ringannya:

“Ibu masih membekal perhiasan-perhiasan. Ibu tidak memerlukan itu semua kini. Jual!”

Maka Ibu nampak jadi menahan sesuatu yang sangat pedih, dan berkata lagi:

“Sudah terjual semuanya, Nak…!

Untuk sewa rumah,

untuk makan,

untuk bayar sekolahmu,

buku-bukumu,

juga dansa-dansa dan kesenangan-kesenanganmu…

selama ini!”

Sang anak jadi termangu sekarang, sambil membantingkan buku di tangannya ke atas meja… 

Foto: Milyana/Carousell

pernah ia tulis sajak-sajak untuk seseorang yang baginya
"memiliki semua hak untuk menjadi kekasih",
telah ia awali sebuah kisah penuh mimpi yang
dirajutnya dalam senyapditelusurinya nukilan
cerita lama dari sebuah kesirnaan masa

telah ia tempuh bentangan masa menuju
daratan tak bernama, dikuaknya tirai waktu dan
diketuknya sebuah pintu setengah terbuka, di baliknya
ia temui hamparan padang hijau dan mega berarak di kaki
cakrawala sejauh mata berkelana

telah ia lalui satu dekade, bergeming dalam
deraan waktu seraya
dibisikkannya sekeping rindu: 
"aku pulang
tapi entah kapan
dan ku tak tahu siapa tujuan"


oleh Jane Ardaneshwari dalam buku Dancing Rain